Rabu, 30 November 2011

# Stratifikasi Sosial Antara Golongan Buruh dan Para Pengusaha

        Sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Diantara lapisan yang atasan dan yang rendah itu ada lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan sendiri oleh mereka yang hendak mempelajari system masyarakat itu. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat,tetapi kedudukannya yang tinggi. Mereka mempunyai kekuasaan besar mudah menjadi kaya dan mengusahakan ilmu penegetahuan. Bentuk-bentuk lapisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut tetap ada sekalipun dalam masyarakat kapitalistis,demokratis,komunistis,dsb. Semakin rumit dan semakin maju teknologi maka semakin kompleks pula system lapisan masyarakat. Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial hal nya tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian system sosial setiap masyarakat. Sistem lapisan masyarakat berpokok pada system pertentangan dalam masyarakat.
Lapisan masyarakat memiliki banyak bentuk-bentuk konkret. Akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam kelas,yaitu yang ekonomis,politis,dan yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Mereka yang termasuk kedalam suatu lapisan atas dasar ukuran politis biasanya juga merupakan orang-orang yang menduduki suatu lapisan tertentu atas dasar ekonomis. Demikian pula mereka yang kaya biasanya menempati jabatan-jabatan yang senantiasa penting. Bagaimana kaum besar seperti para pejabat,pengusaha,dan orang tinggi lainnya menguasai segala sector pemerintahan. Terlebih untuk sector ekonomi,para kaum kaya akan merasa diuntungkan,dibandingkan dengan para kaum kecil seperti buruh,petani,dan orang miskin lainnya. Pada masyarakat-masyarakat kecil serta bersahaja biasanya pembedaan kedudukan dan peranan bersifat minim karena warganya sedikit dan orang-orang yang dianggap tinggi kedudukannya juga tak banyak baik macam maupun jumlahnya. Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial hal nya tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian system sosial setiap masyarakat. Sistem lapisan masyarakat berpokok pada system pertentangan dalam masyarakat.
Semisal kasus pekerja-pekerja di sebuah perusahaan,dimana mereka harus bekerja seluruh jiwa raga untuk melaksanakan kewajiban  mereka sebagai seorang karyawan. Kewajiban yang mereka laksanakan kerap kali tidak sebanding dengan hasil atau upah yang mereka terima. Belum lagi perlakuan-perlakuan yang kasar dan tidak mengindahkan sering kali mereka terima saat bekerja di perusahaan. Para kaum kaya hanya memanfaatkan para buruh untuk kepentingan kaum mereka saja,dan para buruh terkesan dimanfaatkan.
        Para buruh bekerja sesuai ketentuan perusahaan,menurut jam dan waktu yang telah ditentukan oleh perusahaan dimana mereka kerja. Terkadangmerekaharuslemburuntukwaktu tertentu.Menuntut Kepedulian Pemerintah terhadap Nasib Buruh.Masalah perburuhan di berbagai negara, baik di negara maju maupun di negera-negara berkembang hingga kini belum juga dapat terselesaikan.
Berbagai keluhan dan tuntutan yang selama ini dilayangkan oleh kaum buruh kepada pemerintah sebagai pihak pemegang kekuasaan tampaknya belum juga dapat terwujud. Kaum buruh hingga kini masih saja menjadi kaum yang termarjinalkan dengan berbagai kebijakan yang tidak pernah berpihak. Karenanya kaum buruh terus berada dalam posisi yang sulit dan serba salah. Padahal keberadaan kaum buruh di berbagai negara sangat penting untuk menggerakkan roda perindustrian. Makanya tak heran kalau kaum buruh selama ini dianggap sebagai sumber penghasil devisa negara. Tapi sayangnya upah (gaji) yang diterima oleh kaum buruh, sering tidak sesuai dengan kerja keras yang telah mereka lakukan.
      Dewasa ini sering sekali terjadi penyiksaan dan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh para majikan, terhadap para pekerja (buruh migran) yang bekerja di luar negeri hingga berujung pada kematian. Kasus-kasus yang menimpa Siti Hajar, Susmiyanti, Siti Tarwiyah, Tari dan Rumini dan terlantarnya ratusan buruh migran Indonesia di bawah kolong jembatan Jeddah hingga menyebabkan seorang PRT migran, Halimah asal Cianjur meninggal dunia. Hal ini merupakan suatu bukti lemahnya perlindungan dan kepedulian pemerintah dalam menyikapi nasib kaum buruh, khususnya buruh migran yang bekerja di luar negeri. Tercatat sepanjang tahun 2009 menurut data dari Migrant Care, angka kematian buruh migran di Indonesia mencapai 1.018 orang di seluruh negara penempatan dan 683 atau 67 persen diantaranya meninggal di Malaysia. Sedangkan angka tindak kekerasan yang menimpa buruh migran mencapai 2.878 orang di tahun yang sama.

      Kebijakan yang Tidak Berpihak terhadap Kaum Buruh. Hingga kini pemerintah belum juga dapat menunjukkan ketegasan sikapnya terhadap berbagai kasus yang telah menimpa kaum buruh migran yang bekerja di luar negeri tersebut. Padahal mereka juga warga negara Indonesia yang harusnya berhak mendapatkan perlindungan. Tapi inilah kenyataan yang terjadi di negara kita, kekuasaan uang bisa mengalahkan segalanya. Meski telah berjuang habis-habisan untuk menuntut hak-haknya sebagai pekerja, dimulai pada masa penjajahan Belanda dengan dibentuknya Serikat Buruh hingga pada awal pemerintahan orde baru, perjuangan kaum buruh belum juga membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan setelah orde reformasi bergulir, berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu saja berupaya untuk menghambat ruang gerak kaum buruh dalam memperjuangkan nasibnya untuk mendapatkan kesejahteraan hidup yang layak.
             Selama ini berbagai pemberitaan di media massa tentang kaum buruh sangat menyedihkan. Buruh selalu diberitakan sebagai kaum tertindas, kaum yang terus-terusan diperas keringatnya untuk keuntungan para pengusaha. Kaum buruh nyaris diperlakukan seperti layaknya seorang budak yang harus menuruti segala perintah dan kebijakan dari para pengusaha sebagai pihak pemilik modal. Kaum buruh juga hampir tak pernah memperoleh hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, seperti hak untuk mendapatkan upah (gaji) yang layak, hak untuk mendapatkan jaminan pekerjaan yang tetap untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Status kerjanya kini menjadi kabur oleh adanya kebijakan yang lebih mementingkan pengusaha sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya tentang perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing. Sejak undang-undang tersebut diberlakukan, status kaum buruh di berbagai perusahaan industri menjadi tidak jelas.
Kaum buruh hanya menjadi pekerja kontrak yang setiap waktu dapat di-PHK sesuka hati oleh para pengusaha. Makanya tak heran, ketika krisis ekonomi global melanda hampir di sebagian besar negara-negara di dunia, banyak kaum buruh yang di-PHK tanpa mendapatkan uang pesangon, dengan alasan untuk menghindari defisit keuangan dan untuk meningkatkan efisiensi guna menghindari kebangkrutan perusahaan. Keadaan inilah yang akhirnya bisa membuat para pengusaha bersikap sesuka hati untuk mempekerjakan dan memberhentikan para pekerjanya (kaum buruh). Maka di sinilah rezim penindasan dan ketidakadilan itu dimulai akibat kebijakan ekonomi kapitalistik yang berusaha menarik minat investor dengan tawaran upah (gaji) pekerja yang rendah dan sistem kerja kontrak yang lebih menguntungkan pihak investor (pengusaha), ketimbang buruh. Harapan pemerintah, tentu dengan masuknya investor (pengusaha) ke negara kita untuk mau menanamkan modalnya, maka dapat membuka lapangan kerja di berbagai sektor industri dan sektor lainnya. Dengan semakin terbukanya lapangan kerja, berarti tingkat pengangguran dapat ditekan. Tetapi tanpa disadari, dengan di berlakukannya sistem kerja kontrak dan outsourcing yang melahirkan istilah Perjanjian Kerja pada Waktu Tertentu (PKWT), telah menyebabkan para investor (pengusaha) bebas mem-PHK para pekerjanya kapan saja.
Faktor kekuasaan uang (kepemilikan modal) dan lemahnya legitimasi hukum yang berlaku di negara kita, lagi-lagi telah menyebabkan nasib kaum buruh semakin terpinggirkan dan semakin tertindas oleh berbagai kebijakan yang kini dirasa tidak lagi berpihak kepada kaum lemah. Sehingga perjuangan kaum buruh untuk mendapatkan keadilan dengan status pekerjaan yang tetap, dengan upah (gaji) yang layak demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya, kini menjadi perjuangan yang melelahkan, penuh tetesan keringat, air mata dan penuh kepedihan.
Buruh, pada masa kini, pada saat dunia berfahamkan ideologi kapitalisme modifikasi, yang ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah dalam hubungan buruh-pengusaha, mulai mengakomodir keberadaan buruh ketempat yang lebih baik. Buruh pada saat ini, di negara-negara maju, diposisikan sebagai asset perusahaan. Kalau dulu tujuan perusahaan adalah untuk mendapatkan laba maksimum maka saat ini tujuan perusahaan yang paling utama adalah kesejahteraan karyawan. Dengan posisi sebagai asset, buruh mempunyai daya tawar (bargaining) yang cukup kuat dengan pengusaha. Apalagi ada kebijakan yang memungkinkan buruh untuk ikut serta dalam kepemilikan saham. Tentu saja kondisi ini hanya berlaku di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Bagaimana di Indonesia yang merupakan kelompok negara berkembang. Posisi buruh di Indonesia secara faktual masih dianggap sebagai salah satu produksi posisi buruh masih tetap lemah walaupun beberapa instrumen peraturan perundangan telah dibuat oleh pemerintah. Berbagai kelemahan daya tawar buruh dapat dilihat dari alotnya pembahasan berbagai bentuk upah yang dengan mudah ditebak, selalu dimenangkan oleh kepentingan pengusaha. Demikian juga tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak normatif buruh seperti kesejahteraan dan peningkatan kualitas kerja, hasilnya sering dikompromikan sesuai dengan keinginan pengusaha.
Dari pengamatan terhadap berbagai gerakan demonstrasi buruh yang sering terjadi di Kota Batam dan kota lainnya di Indonesia, ada beberapa kelemahan yang cukup signifikan yang dihadapi oleh kelompok buruh. Pertama, secara organisasi, kesadaran berserikat dikalangan anggota buruh masih sebatas ikut-ikutan tanpa mengerti arti substansi pergerakan buruh, yang ditandai misalnya pengurus serikat buruh di Indonesia pada umumnya di ikuti hanya pekerja level terbawah sampai mandor (foreman), dan kondisi ini berbeda dengan negara tetangga, dimana serikat pekerjanya (union) juga melibatkan para manajer menengah dan manajer puncak, yang secara intelektual dan teknis mereka cukup menguasai permasalahan perburuhan dan perusahaan. Faktor internal lainnya adalah tidak adanya hubungan dan koordinasi yang harmonis diantara serikat buruh yang ada, mereka cenderung mempunyai platform perjuangan yang berbeda-beda jadi ketika satu serikat buruh mengendakan suatu aksi, serikat buruh lainnya tidak mendukung dan ada kesan merasa diremehkan.
Disisi lain, pengusaha yang memiliki penguasaan modal dan kekuasaan, melihat perpecahan antara serikat buruh merupakan suatu yang diharapkan.bagaimana tidak, dalam keadaan kompak dan bersatu pun, pengusaha memiliki peluang yang cukup besar untuk memenangkan konflik kepentingan buruh-pengusaha.
Karakteristik serikat buruh di Kota Batam adalah cenderung lebih mengutamakan jalan mogok daripada menempuh jalan berunding. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan pengurus serikat pekerja kurang memiliki pengetahuan yang baik tentang permsalahan ekonomi dan tentunya filosofi pergerakan buruh. Yang menjadi masalah adalah sebagian besar pengurus serikat pekerja tersebut tidak profesional di bidangnya, tidak mempunyai latar belakang perjuangan serikat bekerja, tidak mempunyai program kerja dan sasaran yang jelas, tidak mempunyai kemampuan negosiasi. Banyak kasus-kasus yang terjadi mengindikasikan bahwa "perjuangan" mereka sangat diragukan untuk kepentingan pekerja. Sebagian mempunyai muatan politik, sebagian lagi lebih menonjolkan kepentingan pribadi. Tingkah laku serikat pekerja sekarang ini bukan saja terkesan menakutkan, akan tetapi dalam jangka panjang dapat merusak disiplin dan etos kerja para karyawan. Pengalaman para pengusaha di Amerika Serikat dan Eropa menghadapi perilaku serikat pekerja seperti itu dalam awal tahun 1970-an adalah menciptakan teknologi yang sangat sedikit menggunakan tenagakerja. Hal seperti itu dapat ditiru di Indonesia. Oleh sebab itu, salah satu prioritas utama ketenagakerjaan sekarang ini adalah pembekalan dan pemberdayaan para pemimpin serikat pekerja, supaya betul-betul mempunyai idealisme memperjuangkan kepentingan pekerja, memahami perjuangan serikat pekerja, mempunyai profesionalisme dalam mencapai sasaran organisasi, serta dapat menjadi mitra pengusaha menciptakan hubungan industrial yang harmonis supaya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Belum lagi sekarang ini berkembang tenaga kerja outsorcing.Dalam outsourcing tidak ada jaminan bagi buruh untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Bahkan buruh tidak bisa menuntut kenaikan upah maupun pesangon jika sewaktu-waktu terkena PHK. Praktis semua kebijakan dan kewenangan secara mutlak menjadi milik para pengusaha (investor). Jadi, jelas bahwa sistem ketenagakerjaan ini tidak adil karena hanya menguntungkan pihak perusahaan belaka.
Salah satu akibat dari ketimpangan hubungan industrial tersebut telah menempatkan posisi tawar yang sangat rendah bagi kaum buruh sehingga pihak perusahaan mudah melakukan PHK. Maka, untuk memberikan jaminan sosial untuk para pekerja, tidak cukup hanya mengikutsertakan mereka dalam program Jamsostek dan program pensiun. Pihak perusahaan juga perlu menyisihkan minimal 10% dari gaji karyawan dalam satu dekade pertama, selanjutnya cukup 5%-7%, sebagai persiapan untuk pesangon apabila kelak terjadi PHK di perusahaan bersangkutan. Outsourcing justru mengakibatkan tingkat pengangguran yang makin tinggi karena sistem kerja kontrak menekankan keterampilan yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk memiliki keterampilan multibidang. Misalnya, para buruh pada sektor informal tiba-tiba harus diserap oleh sektor formal, hal ini akan menjadi kontraproduktif karena mereka membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi.
Masih banyak terjadi pelanggaran perusahaan terhadap hak normatif buruh kontrak akibat kelemahan sanksi hukum maupun pengawasannya. Jika outsourcing masih terus disalahgunakan oleh pihak perusahaan, apakah pemerintah masih akan terus melestarikan sistem ketenagakerjaan itu dalam peraturan dan perundang-undangan yang ada? Pemerintah juga harus bertindak tegas kepada setiap perusahaan yang melanggar aturan bidang ketenagakerjaan.
Pelanggaran terhadap outsourcing juga sering terjadi karena UU Ketenagakerjaan yang mengatur sistem kerja kontrak telah disalahtafsirkan oleh pihak pengusaha. Tenaga kerja outsourcing seharusnya hanya untuk bidang-bidang tertentu, terutama mntuk pekerjaan pendukung. Jadi, bukan untuk pekerjaan utama. Namun dalam praktiknya, sebagian besar perusahaan yang mempekerjakan-buruh kontrak telah menempatkan tenaga outsourcing hampir di semua lini.
Selain itu, banyak pekerja asing kualitasnya sama atau lebih rendah dibanding pekerja domestik. Tetapi, justru hampir semuanya ditempatkan pada posisi lebih tinggi dibanding pekerja Indonesia. Kinilah saatnya pemerintah cek Kemenaker-trans memperbaiki kebijakan terkait penggunaan tenaga kerja asing yang mencakup peluang terbuka bagi ekspatriat, sistem seleksi, dan masa pemberlakuan izin kerja. Dengan adanya peluang terbuka bagi ekspatriat, tentu bukan berarti pekerja asing boleh seenaknya mengeluarkan kekerasan kata-kata untuk mengin-timidasi para pekerja domestik, meski dimaksudkan agar mereka bekerja lebih baik. Bahkan, jika melakukan penghinaan di depan umum termasuk pelanggaran hukum.
      Harapan Kaum Buruh Selama ini besarnya gaji yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan sering tidak mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan, termasuk kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh kaum buruh seiring dengan naiknya harga-hargakebutuhan pokok. Padahal dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, gaji kaum buruh selayaknya juga dapat naik sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa diliputi keresahan. Jadi bukan sebaliknya, kebutuhan hidup meningkat, sementara gaji yang diterima kaum buruh relatif tetap. Tapi sayangnya hingga kini posisi tawar-menawar antara perusahaan dan buruh mengenai upah (gaji) 
berada pada posisi yang lemah. Buruh dengan segala kelemahan dan kekurangannya, selalu saja berada pada pihak yang kalah dan terpaksa menerima, meski dengan keterpaksaan daripada tidak mendapatkan pekerjaan. 
 
      Meskipun pemerintah sebenarnya telah menetapkan Upah Minimum Regional (UMR), Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), tetapi pihak pengusaha masih saja merasa keberatan untuk memberikan gaji kepada kaum buruh sesuai dengan upah (gaji) yang telah ditetapkan pemerintah. Makanya tak heran kalau akhir-akhir ini sering terjadi gelombang unjuk rasa, seperti aksi demo yang dilakukan oleh ribuan kaum buruh untuk menuntut kenaikan upah (gaji), menuntut adanya jaminan kerja yang tetap agar tidak terjadi maraknya aksi PHK yang dilakukan oleh para pengusaha. 
 
      Menyadari berbagai permasalahan yang kini dihadapi oleh kaum buruh, maka sudah saatnyalah pemerintah mau melakukan reformasi di bidang ketenagakerjaan yang ada. Sudah saatnyalah pemerintah mau untuk mempertimbangkan kembali tentang keberadaan Undang-undang Ketenagakerjaan, seperti Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya tentang perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing yang pada penerapannya justru lari dari yang diharapkan. Karena hanya dengan menetapkan kebijakan yang mau kembali melindungi kaum buruh dengan sistem ikatan kerja yang jelas (tetap), maka nasib kaum buruh dapat berubah dan kesejahteraan hidupnya dapat lebih ditingkatkan. Karena bagaimanapun tanpa jerih payah kaum buruh, roda perindustrian di suatu negara tidak akan dapat berjalan lancar. Tanpa kaum buruh, para investor (pengusaha) tidak mungkin dapat mengembangkan modalnya di suatu negara dan tidak dapat memperoleh keuntungan sesuai dengan yang diinginkan. Maka sudah saatnyalah pemerintah mau menghargai jasa dan pengorbanan kaum buruh dengan memberikan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan demi meningkatkan kesejahteraan hidup yang selama ini mereka harapkan dan demi menghilangkan benih-benih penindasan dan ketidakadilan.
 
 
 
 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar

S P I R I T

Dalam Hidup Ini Semua Ada Waktunya ,

Ada Waktu nya Kita Merasakan Kebahagiaan,

Ada Juga Saatnya Kita Merasakan Kekecewaan,,

Layaknya Kuncup Bunga Yang Ada Waktunya Untuk Mekar,

Begitupun Dalam Kehidupan Ini,Yang Semua nya Ada Waktu nya Untuk Menjadi Indah.